BAB III (Part 2)
Rumahnya tinggal beberapa meter lagi. Ia bertemu tukang bajigur dan membeli seikat kacang rebus, ubi rebus, dan tiga bungkus air bajigur kesukaan adiknya. Adiknya pasti senang sekali melihat abangnya pulang dengan selamat, apalagi dengan membawa oleh-oleh. Ditambah, sore ini rencananya ia akan mengajak Inta belanja ke pasar untuk membeli keperluan sekolahnya adik kesayangannya itu. Ia sudah membayangkan ekspresi girang yang ditunjukkan Inta untuknya begitu melihat kedatangannya.
Tapi, ia kaget begitu sampai di depan rumahnya – yang sebenarnya tak layak disebut sebagai rumah – yang kecil. Engsel pintu lepas dari tempatnya dan papan pintu jelek yang sudah kumuh tergeletak sembarangan di lantai. Dengan bingung, ia melangkahi ‘bangkai’ pintu rumahnya.
“Intaaa.. Inta, kamu dimana? Abang pulang nih..” Seru Djenas ke sekeliling rumah yang Cuma terdiri dari tiga petak itu. Ia tak menemukan Inta di kamar tidur. Ia malah mendapati ayahnya tengah asyik meminum kopi sambil menonton televisi 14 inci yang dikasih tetangganya. Tv itu awalnya sudah agak rusak, tapi berkat perbaikan di sana-sini oleh Djenas, tv itu bisa ditonton walau warnanya kembali ke jaman 80-an.
“Pak, Inta mana, pak? Hari ini dia ngga sekolah kan, pak?” Tanya Djenas mulai panik. Tapi ayahnya seperti tidak menyadari kehadirannya dan terus saja menikmati acara tv di hadapannya. “Pak, Inta mana? Kenapa pintu depan bobrok, pak?? Kenapa rumah berantakan? Bapak, jawab, pak!! Mana Intaaa?!”
Akhirnya ayahnya mendongak. “Kita bebas!”
“A.. Apa maksud bapak?”
“Utang bapak lunas. Jadi kita ngga usah khawatir lagi bayar utang. Aaaaaaahh.. Udah lama gw ngga ngerasain hidup sebebas ini. Senangnyaaa..” Ayah Djenas mengulet panjang dan tertawa lebar sekali.
Dengan bingung Djenas menatap ayahnya. “Apa maksud bapak? Hutang lunas dari mana? Bapak dapat uang dari mana? Pak.. Jawab!!” Teriak Djenas makin panik. Ia mengamati keadaan rumahnya yang sudah sangat berantakan, seperti telah terjadi gempa yang sangat dahsyat disini. Kemudian tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
“Pak.. Inta.. Inta kemana??” Dengan gugup, Djenas bertanya.
“Inta? Oooh.. Bapak kasih ke Bento. Asyik kan? Coba dari dulu aja ya, jadi kita ngga usah nyicil-nyicil. Uang cicilan utang kan bisa dipake buat makan. Yaaah.. Tapi lumayanlah 15 juta..”
Dengan mata terbelalak, Djenas menatap ayahnya. Tanpa sadar ia mencengkeram kaos ayahnya sehingga lelaki paruh baya yang masih keliatan kuat itu terangkat dari posisi duduknya.
“Bapak menjual Inta?? Anak bapak sendiri?? Bapak macam apa itu, pak!!” Teriak Djenas sudah dipenuhi amarah.
“Uhuk.. Uhuk..”
Akhirnya Djenas melepas cengkramannya. Ia membiarkan ayahnya terbatuk-batuk, mengatur lagi nafasnya. “Pak, bapak sadar kan apa yang telah bapak lakukan? Inta itu anak bapak!!”
“Anak ya tugasnya mengabdi pada orang tua. Satu-satunya cara dia mengabdi pada bapak ya dengan cara menyerahkan diri ke Bento buat ngelunasin utang. Kalau udah gede dia bisa apa coba? Mend—“ Kata-kata ayahnya terpotong ketika emosi Djenas sudah tak tertahankan lagi dan ia menonjok pipi tirus ayahnya hingga orang tua itu terjatuh ke belakang dan bibirnya berdarah.
“Inta lebih baik dari pada bapak! Setidaknya ia ngga akan jadi penjudi yang merepotkan semua orang!! Setidaknya ia ngga pernah punya niat untuk ngejual bapaknya yang ngga berguna!!” Seru Djenas marah. Air mata sudah mengalir keluar. Sudah lama sekali dia tidak menangis. Terakhir kali Djenas menangis sewaktu berumur 9 tahun, saat ibunya dipanggil Tuhan. “Inta sayang pada bapak! Tapi kenapa bapak tega ngejual Inta, pak?”
Dengan lemas, Djenas terduduk. Ia nggak bisa membayangkan bagaimana keadaan Inta sekarang. Apa ia sehat? Apa ia sudah makan? Apa.. Apa ia masih.. Masih perawan? Alasan terakhirlah yang paling ditakuti Djenas. Ia yakin Bemnto dan anak buahnya ngga akan membunuh Inta, mereka pasti berencana menjadikan Inta sebagai pelacur, atau jika Inta berontak mungkin anak itu akan dijual. Tidak. Membayangkannya saja ia ngeri.
Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia yakin Bento ngga akan memberikan Inta begitu saja meski ia punya uang sisa hutangnya untuk dibayar. Ia tau sifat Bento yang selalu mencari keuntungan lebih. Ia bukan memakai Inta sebagai jaminan, tapi sebagai perasan untuk mencari keuntungan yang lebih banyak darinya.
Bento pasti tau Inta adalah segalanya bagi Djenas. Yang ia takuti, Bento akan memeras dirinya jika ingin Inta kembali. Kalaupun dirinya tidak dapat memenuhi permintaan Bento, toh ia akan tetap dapat keuntungan dari Inta. Ahh. Semuanya merugikan untuk dirinya.
“Gw harus mengambil Inta diam-diam! Harus! Setelah itu dia ngga punya lagi sesuatu untuk memeras gw. Asal Inta selamat, apapun akan gw lakukan. Gw harus dapat uang 10 juta dalam semalam agar dapat membayar hutang, tentunya setelah Inta sudah aman di tangan gw. Bento brengsek itu ngga bisa memeras gw!” Tekad Djenas kuat-kuat.
Tapi, sekuat apapun tekadnya, ia tetap punya satu masalah utama: Bagaimana cara ia menyelamatkan Inta diam-diam? Ini seperti masuk ke dalam kandang singa yang sedang lapar. Kalaupun ia berhasil lolos, setelah itu ia harus merampok lagi untuk mendapatkan 10 juta. Kalau tertangkap polisi? Ahh. Seperti “keluar dari kandang singa lalu terjebak dalam mulut buaya”. Seperti makan buah simalakama.
Dengan tajam, Djenas menatap ayahnya yang dengan cuek sudah kembali menonton televisi. Tak perdulikah dia terhadap nasib anak-anaknya? Padahal semua ini bersumber dari kesalahan dia sendiri?
Djenas ingin sekali membunuh orang tua di sebelahnya itu, andai saja ia tak ingat kalau orang tua itu adalah ayah kandungnya. Sering sekali ia merenungi, kenapa ia dan Inta harus menjadi anak dari seorang ayah yang hobi berjudi dan minum minuman keras? Kenapa ayahnya begitu tak perduli pada keselamatan anak-anaknya?
Dengan tekad bulat, Djenas beranjak! Ia harus membuat rencana yang matang dan hal pertama yang harus ia lakukan adalah mencari teman-temannya!
# # # # # #
(Bersambung ke Bab IV)
Silahkan dibaca cerita sebelumnya:
BAB I: BAB I -> Kebosanan ini bisa membunuhku..
BAB II part 1: BAB II (Part 1) -> Untuk sukses butuh keberuntungan, pun dalam hal pembobolan toko perhiasan..
BAB II part 2: BAB II (Part 2) -> Untuk sukses butuh keberuntungan, pun dalam hal pembobolan toko perhiasan..
BAB III part 1: BAB III (Part 1) -> Daerah Hitam yang Benar-Benar Hitam
Senin, 12 November 2012
Home »
Semi Novel
» Semi Novel : BAB III (Part 2) -> Aku Tak Pernah Meminta Kami Menjadi Anaknya!
0 komentar:
Posting Komentar