Indonesia punya Malang. Malang punya Gunung Semeru..

Pemandangan Danau Ranukumbolo dilihat dari atas Tanjakan Cinta.

Indonesia punya Garut. Garut punya Gunung Papandayan..

Papandayan itu kaya. Ada hutan mati. Ada Tegal Alun, kebunnya bunga Edelweis.

Indonesia punya Jogjakarta. Jogjakarta punya Goa Pindul

Di ujung Goa Pindul, sambil cavetubbing kita akan bertemu kubah terang Goa..

Indonesia punya Lombok. Lombok punya Tanjung Aan..

Naik ke bukit di Tanjung Aan dan lihatlah sekeliling dari atas sana.

Sabtu, 24 September 2011

Cerbung: Aku Belajar dari Kata Maaf (2)

"Lo lari cepet banget.. Gw kewalahan ngejar lo.." Ujar Galuh dengan senyum menghiasi wajahnya yang terlihat kelelahan. Indah baru akan berdiri, namun ternyata kakinya ngga mampu diajak bekerja lagi. Sepertinya ia memang berlari dengan cepat barusan. Lelah sekali.

"Buat apa lo ngejar gw?" Tanya Indah.
"Ada kata-kata yang belom gw terusin.." Jawab Galuh. Indah menatap lekat cowok itu. "Soal berita miring selama dua hari ini, sebenarnya gw ngga percaya.."

"Kenapa? Gw liat semua orang di sekolah percaya.." Ujar Indah lesu.
"Karena lo pasti bukan orang seperti itu!"

Indah kembali menundukkan kepalanya. Lagi-lagi air matanya bergulir perlahan. Galuh hanya menatap cewek dihadapannya itu dengan iba.

"Kenapa harus gw? Kenapa Tuhan milih gw untuk menanggung beban ini?" Indah tanpa sadar menumpahkan perasaannya. Tidak tau kenapa otaknya malah membimbingnya untuk menceritakan bebannya pada Galuh, cowok yang bahkan tidak dikenalnya. Perasaan yang selama ini hanya terbelenggu di dalam hatinya.

"Kenapa gw yang harus kehilangan orang tua yang sangat mencintai gw? Kenapa gw yang harus tinggal dengan orang tua angkat yang bahkan memperlakukanku seperti pembantu? Kenapa gw yang hidup sementara adik gw yang harus meninggal? Kenapa gw yang harus menerima perlakuan acuh dari semua orang yang gw kenal? Kenapa gw yang menerima fitnah keji yang bahkan membuat teman baik gw pun meragukan gw? Tuhaan.. Kenapa Indah??"

Galuh tidak tau harus berkata apa. Ia hanya mampu terdiam mendengar semua keluh kesah cewek dihadapannya itu. Keluhan yang jika diteliti kembali, tidak ada satupun kebahagiaan yang memeluk hidup Indah. Keluhan yang membuat cewek ini menguraikan air matanya.

"Kenapa lo ngerasa gw bukan cewek yang seperti diceritakan Reno?" Tanya Indah tiba-tiba, membuyarkan pikiran Galuh.

"Ahh.. Ng.. Mungkin mata lo yang menunjukkan elo itu seorang yang diliputi kesedihan dan mata lo juga memperlihatkan pada gw sosok yang hidup dengan kerja keras, bukan jalan pintas"

Indah mendongak menatap Galuh.

"Hapus air mata lo! Jangan sampai mata indah lo ternoda oleh kerapuhan lo, karena gw percaya kalo lo kuat" Ujar Galuh. Indah menurut dan menyeka air matanya dengan lengan kemejanya. "Lo mau bukti kalau lo kuat?" Tanya Galuh. Indah terdiam. "Karena pasti lo udah ngelewatin masa-masa itu dan sekarang? Lo masih disini.. Masih berjuang.."

"Makasih.. Makasih.."

"Gw Galuh.." Ujar Galuh. Indah mendongak, tersenyum dan menyebutkan namanya.
"Kembali ke sekolah?" Tawar Galuh ramah. Indah mengangguk, kemudian mereka sama-sama berdiri dan berjalan ke sekolah bersama.

*****

Dokter mengusap kepala Indah dan menenangkannya, karena sejak tadi Indah terus menangis di depan tubuh ibunya yang sudah terbaring tak bernyawa. Kini dokter meninggalkannnya, tinggalah Indah bersama tangisannya.

Malam itu orang tua Indah pergi bertiga dengan adik semata wayangnya yang baru berumur lima tahun untuk pergi mengunjungi suatu acara. Indah tidak ingin ikut. Sebelum pergi ayah dan ibunya mengecup kening Indah, dan yang jarang terjadi, mereka memeluknya dengan erat. Adiknya pun tak biasanya mengecup pipinya lembut. Tapi saat itu ia tidak merasakan feeling apa-apa.

Kejadian itu begitu kokoh terpatri di benaknya. Ketika ia ingin membereskan rumah, tiba-tiba frame foto keluarganya terjatuh, sebelum Indah sempat membereskannya, telepon berdering, dengan cepat ia mengangkatnya. Berita yang ia dengar di telepon begitu menghantamnya. Ternyata pelukan dan ciuman ayah, ibu, dan adiknya adalah pelukan dan ciuman terakhir dari mereka.

Mobil yang dikendarai ayah Indah mengalami kecelakaan, terserempet dengan mobil sedan. Untuk menghindari tabrakan, ayahnya terpaksa membanting stir ke kiri yang malah membuat mobil mereka menabrak pagar pembatas dan akhirnya terguling beberapa meter. Ketiganya tewas dalam perjalanan ke rumah sakit. Tapi, pengemudi sedan yang berbenturan itu sama sekali tidak celaka, hanya sebatas luka-luka ringan.

Kenyataan itulah yang membuat Indah sangat membenci pengemudi sedan itu. Mereka memang bertanggung jawab dengan membiayai semua pemakaman keluarga Indah, namun melihat mereka sehat wal'afiat karena ayahnya menghindari kecelakaan dengan mereka padahal mereka yang menyerempet mobil ayahnya, kebencian dalam dadanya tidak bisa ia sangkal.

Setelah itu, Indah diangkat anak oleh bude jauhnya, yang menjadi awal dari penderitaannya.

*****

"Terima kasih, pak.."

Amplop berisi sejumlah uang tepat di dalam genggamannya. Indah merasa sangat senang. Gaji ketiga yang ia terima. Dengan senyum merekah, ia melangkah keluar dari kafe tersebut. Sebelum pulang ia melanjutkan pekerjaannya agar lebih sempurna.

"Indah.."
"Galuh?"

Galuh berdiri dihadapannya. Indah tergagap, ia menyembunyikan benda yang dipegangnya di belakang tubuhnya. Tapi Galuh sudah mengamati Indah sejak tadi mulai bekerja, jadi ia tau benar apa yang disembunyikan Indah. Galuh tersenyum. Manis. Indah berbalik hendak pergi, tapi tangannya di cekal. Cepat, cewek itu menariknya.

"Ngga usah malu.. Gw bukan tipe orang yang membuat lo ngga enak kan?" Tanya Galuh
"Tapi.. Gw cuma cleaning service disini. Elo.. Nggak malu?"
"Nggak! Udah gw bilang kan, lo itu tipe orang yang hidup dari kerja keras bukan jalan pintas. Gw malah jadi tambah yakin. Ternyata dugaan gw bener dan komentar anak-anak cuma sekedar bohong belaka. Lanjutin aja.. Atau mau gw bantu?"

"Ngga.. Nggak usah.. Lo tunggu di luar aja.."
Lalu Indah melanjutkan pekerjaannya. Mengepel seluruh lantai di kafe itu dan mengelap seluruh meja disana. Setelah selesai, ia menghampiri cowok yang menunggunya di luar.

"Tau dari mana gw kerja disini?" Tanya Indah penasaran.
"Kabar santer di sekolah. Sebenernya gw cuma iseng aja lewat deket-deket sini dan gw inget nama kafe tempat lo kerja, jadi sekalian aja gw kesini. Siapa tau kita bisa ngobrol-ngobrol. Mau?"

Akhirnya Galuh mengajak Indah ke sebuah restoran cepat saji. Disana Indah mendengar cerita-cerita Galuh yang ternyata sangat mangasikkan. Sesekali mereka tertawa bersama. Tak terasa Indah malah nyaman mengobrol bersama dengan cowok yang baru jadi temannya itu.

"Orang tua dan adik gw kecelakaan setelah menghindari mobil lain. Mereka meninggal." Indah menceritakan kisah keluarganya. Sebenarnya ia paling ngga suka mengungkit cerita itu, namun Galuh telah membuatnya memiliki seorang teman yang dapat dipercaya.

"Mobil lain?"

"Iya.. Pengemudi sedan. Mereka cuma luka ringan. Beruntung sekali ya mereka? Ngga seperti orang tua gw, mau menghindari tabrakan, malah menabrak papan terbatas, sampai terguling ke depan. Kalo inget pengemudi sedan itu, selalu buat gw pengen nangis aja tau ngga, dengan keajaiban yang didapati mereka.."

Galuh membisu. Selalu, kalau mendengar cerita tentang orang tua Indah. Sejak pertemuan pertamanya waktu itu, mereka jadi teman akrab.

"Eh, untunglah teman-teman ngga seramai dulu ngomongin gw lagi.." Indah mengalihkan pembicaran, yang membuat Galuh tersentak dari lamunannya. " Gw jadi lega.."

"Kenapa lo ngga cerita aja tentang fakta yang sebenarnya?"

"Nggak! Ini rahasia, Galuh. Ngga boleh ada yang tau kalau gw bekerja sebagai cleaning service.. Gw malu.. Gw malu pada mereka.." Sergah Indah panik.

"Malu? Emang cleaning service itu pekerjaan hina? Pilih mana lo dibicarain orang karena lo kerja sebagai cleaning service apa sebagai penjual diri?"

Indah terdiam. Tidak ingin menjawab.

*****

BERSAMBUNG...

Jumat, 23 September 2011

Cerbung: Aku Belajar dari Kata Maaf (1)

Indah melewati lorong yang penuh bisik-bisik. Sesekali ia menoleh kikuk, tapi dengan cepat ia kembali menundukkan kepalanya. Ia tidak mengerti kenapa sepanjang perjalanan memasuki pelataran SMA nya, ia selalu merasa orang-orang sedang membicarakannya dalam bisikan dan ia merasa ditatap tajam oleh semua penghuni sekolah.

Ia memasuki kelasnya. Suasana yang sebelumnya ramai tiba-tiba menjadi hening seketika. Ia menghampiri tempat duduknya dan duduk disamping teman baiknya, Novi. Ada raut kecemasan di wajah sahabatnya itu, tapi Novi tetap tersenyum, walau tipis, pada Indah.

"Nov, lo ngerasa ngga, kayanya temen-temen agak aneh gitu deh ngeliat gw hari ini? Ada yang salah di muka gue ya?" Bisik Indah menyeruak rasa ingin tahunya. Novi meliriknya dengan kikuk.

"A.. Ahh.. Kayanya cuma perasaan lo aja deh, Ndah.." Jawabnya dengan agak tergagap.

Walau masih bingung, tapi Indah hanya mengangguk, mencoba percaya dengan jawaban Novi. Akhirnya jam masuk pun berdentang. Semua murid kini memasuki kelasnya masing-masing. Indah menyapa ramah kawannya yang duduk di depannya, seperti biasa.

"Ckck. Ngga nyangka banget gw cewe yang kayanya lugu ini ternyata.." Gumam Icha ketika Indah menyapanya. Icha berbalik badan. Indah mengerutkan kening seraya menatap Novi yang ternyata hanya bisa menunduk dalam-dalam. Baru akan bertanya pada Icha lagi, namun gurunya sudah memasuki kelas. Ia mengurungkan niatnya itu.

*****

"Haii Indaaah.. Cantik banget deh lo hari ini.." Sapa Reno, cowok yang terkenal bengal di sekolah. Indah mengacuhkannya, karena nggak ingin berurusan dengan cowok kurang sopan dihadapannya itu. "Waduuh.. Udah sok jual mahal nih sekarang.. Mentang-mentang udah dapet om-om kaya,euy.."

Sontak, Indah berhenti, menatap Reno dengan tajam.

"Kabarnya udah kesebar, Ndah.. Kalo lo kerja di kafe malem dan joget disana.. Wah, ternyata hoby kita sama, cuma gw ngga nyangka, lo juga suka dance.."

"Ta.. Tau dari mana gw kerja di kafe?" Indah mulai panik. Reno tertawa. Keringat dingin keluar dari kening Indah. "Siapa yang nyebarin fitnah gw dance di Blue's Cafe?"

"Ohhh.. Namanya Blue's Cafe yaa.. Hemm.. Udahlah Ndah.. Ngga usah ngelak lag__"

"Denger! Gw bukan cewe yang seperti kalian duga! Gw ngga ngelakuin sesuatu yang salah disana. Gw cuma cari penghasilan disana. Itu aja!" Tegas Indah pada orang-orang yang sudah berkerumun di sekeliling mereka. Wajah Indah memerah, tanda ia sangat kesal. Ia melihat Novi berdiri di dalam kerumunan dan terlihat mencurigainya. Ia sampai tidak percaya dengan penglihatannya, bahkan Novi meragukannya dan mempercayai perkataan orang lain!

"Kalo gitu bener lo jual tubuh lo demi dapetin uang?" Celetuk seorang cewek dari arah kerumunan. Terdengar gumaman samar dari anak-anak.

"Ngga! Itu fitnah! Bohong.." Pekik Indah

"Kalo itu bohong, lo bisa kasih tau kita dong, apa kerja lo disana?"

Kali ini Indah terdiam. Ia tidak bisa memberitaukannya. Ini sudah jadi rahasia yang ia simpan sejak tiga bulan lalu. Ia berdiri menghadang orang-orang yang menunggu jawabannya dan menatapnya dengan campuran ingin tahu dan melecehkan.

"Ngga bisa gw kasih tau. Yang jelas gw ngga melakukan pekerjaan kotor disana.."

"Siapa yang mau percaya Banyak kilah cewe ini.."

Akhirnya Indah tidak tahan lagi. Ia berlari menembus kerumunan. Ia tidak tau mau kemana, yang jelas, ia hanya ingin menjauh dari gedung itu sekarang. Air matanya keluar tiba-tiba, tak dapat dibendungnya. Tanpa disadari ia menabrak orang di depannya.

"Ahh.. Maaf.. maaf.." Ucapnya sambil menunduk.
"Gapapa.. Ng.. Lo.. Indah ya?"

Indah mendongak dan menatap Galuh. Cowok yang cukup terkenal di sekolah karena selalu menjadi juara umum tiap tahunnya dan sering memenangi olimpiade sains. Ditambah lagi reputasinya yang bersih karena Galuh juga merupakan pengurus OSIS.

Indah menghapus air matanya, namun cairan itu tidak berhenti juga. "Silahkan.. Kalo lo mau ngomong juga.. Silahkan.." Kata Indah

"Apa?"
"Soal gw kerja di kafe.."
"Oooh.. Sebenarnya gw__" Kata-kata Galuh dipotong cepat oleh Indah. "Gabung aja sama mereka! Gabung aja sama mereka yang sebelumnya ngga pernah sekalipun melirik gw, tapi tiba-tiba fitnah yang mereka bawa.. Ahh.. Bukan, pasti mereka menganggap itu fakta.. Silahkan.. Ikutin aja mereka.."

Indah berlari. Ia melewati gerbang sekolah dan terus berlari menyusuri jalan. Tak mau sekalipun menoleh ke belakang. Akan terhampar masa-masa sulit yang mengikatnya. Msa-masa dimana ia sendirian dan butuh segalanya.. Tapi tak ada yang memerdulikannya.

Nafasnya memburu, akhirnya ia berhenti, mengatur nafasnya yang kelelahan. Ia duduk di bangku halte. Menunduk menatap jemarinya yang tidak mulus layaknya kulit remaja wanita lainnya, karena tangannya telah mengerjakan tugas di luar semestinya. Ia menangis. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya. Cepat, ia menoleh. Jantungnya berdegup cepat.

*****

BERSAMBUNG...

Senin, 19 September 2011

CerPen: Dia Membuatku Meratap

Hariku berjalan seperti biasa. Suram. Disini sangat sepi.. Tak ada suara sama sekali. Meskipun orang-orang sibuk berlalu-lalang membawa setumpuk laporan dan sesekali barang-barang mereka berjatuhan, tetap hening! Walaupun didepanku terlihat seorang dosen yang sedang memarahi mahasiswanya yang telat mengumpulkan tugas, walaupun dibelakangku berlari seorang mahasiswi yang diteriaki oleh temannya. Tidak berubah. Tetap lengang!

Suram ! Mulai seminggu yang lalu, tidak akan ada lagi seseorang yang menepukku dari belakang dan memamerkan sederetan gigi rapihnya padaku. Tidak akan ada lagi yang menyuruhku makan pagi dengan teratur, tidak akan ada lagi orang yang membangunkanku ketika aku tertidur di dalam kelas. Tidak akan ada lagi orang yang.. akkh..

*****

Aku membawa referensi buku dari perpustakaan dan berjalan menuju kelasku yang rasanya makin lama makin suram. Aku terus mencoba untuk terus bertahan tanpa ada orang yang memperhatikanku dan membantu membawakan barang-barangku tiap hari dengan senyum lebar yang selalu menghiasi wajahnya. Aku mencoba bertahan.

Tiba-tiba ada yang menepukku pundakku. Aku menoleh,
"Hei.. Perlu bantuan?"

Aku mematung. Membisu. Tercekat. Terus seperti itu seraya menatap wajah orang itu.
"Hei.. Kamu kenapa sih? Kaya ngeliat hantu aja deh.. Mau aku bantuin bawa buku-buku itu ngga nih?" Tanyanya sekali lagi. Aku masih terdiam. "Taya.. Whooii.. Halooo??" Ia menggoyangkan telapak tangannya di depan mataku. Aku akhirnya tersentak.

"Ah.. Boleh.. " Aku mengulurkan sebagian buku yang kubawa dan ia menyambutnya. Kami berjalan bersama menuju kelas.

"Kamu kembali?" Aku membuka suara.
"Ya, aku sadar.."

Aku tersenyum. Seketika dunia terasa lebih cerah, lebih berwarna dari yang kurasakan saat sebelum ia menghilang. Aku seperti tidak pernah mengenal apa itu kata 'suram'.

"Kamu sadar kalau aku orang yang selalu telat sarapan dan kamu harus mengingatkannya? Kamu sadar kalau aku orang yang gampang mengantuk di kelas dan kamu harus membangunkanku? Iya"

"Iya.."

*****

"Lo kenapa keringetan banget gitu, ta?" Tanya Lili, teman sekampusku.
"Abis main basket.. " Jawabku sekenanya.
"Sama siapa?"
"Feta.. Siapa lagi? Biasanya kan emang gw main berdua dia doang.."
"Feta?"
"Iya.. Capek banget, padahal mainnya cuma berdua aja ya.." Aku mengelap keringat yang mengalir di dahiku. Lili menatapku dengan bingung. Aku jadi ikut-ikutan bingung. "Elo kenapa?" Tanyaku.
"Ta.. Elo.. Beneran main basket barusan?"
"Iya, dari dua jam yang lalu gw main basket sama dia kok di lapangan.."
Lili berdiri dari kursinya dan melihat keluar kelas yang langsung berhadapan dengan lapangan basket dan menatapku dengan bingung. Aku hanya tersenyum.

*****

Telepon rumahku tetap diam. Tidak ada suara dering sama sekali. Aku mengangkat gagang telepon dan menekan nomor hp Feta yang sudah sangat kuhafal.

"Halo ta.." Sapanya riang ketika menjawab teleponku.
"Fetaaaaa.. Jalan yuuukkk.. Lagi males di rumah.. Nanti malem jalan ya?" Ajakku.
"Boleh.. Kemana?"

Adikku datang menghampiriku. Sejenak aku menghentikan obrolanku dengan Feta dan menatap adikku dengan galak.

"Nelepon siapa,kak?" Tanyanya
"Bang Feta.." Jawabku sekenanya.
"Hah?"
"Kenapa? Mau nguping kaya biasanya ya? Awas aja ya kamu nguping-nguping obrolan kakak lagi.. Awas kalo berani nguping dari telepon kamar mama!" Ancamku. Dengan langkah gontai dan wajah yang heran, adikku berjalan menjauhiku. Ia sering sekali memakai telepon parallel di kamar orang tuaku untuk menguping pembicaraanku dengan Feta. Pasti kali ini ia akan melakukannya lagi. Dasar nakal.

"Maaf, Fet.. Tadi adikku biasa.. Ya terserah kamu aja lah kita kemana.. Gimana kalau kita ke..." Kami saling mengobrol dan tertawa. Kami mengobrol banyak. Tapi, setelah sepuluh menit, aku mendengar teriakan adikku dari kamar orang tuaku. Ia berteriak-teriak histeris.

"Kak Taya ngomong sendiriiiii.. Mamaaa.. Kak Taya ngomong sendirii di telepon!! Mamaaa.."

Aku kaget dan tanpa sadar aku menutup teleponnya. Dengan marah aku menghampiri adikku.
"Berisik! Kakak lagi ngobrol sama bang Feta.. Kan udah kakak bilang jangan berisik kalo orang lain lagi nelepon!" Tukasku dengan kesal. Ia menangis ketakutan di pelukan ibuku. Ibuku masih tenang, ia mengelus rambutku dengan penuh cinta.

Ia mengajakku menaiki mobil, mengendarainya dan berhenti di sebuah pemakaman umum. Ia meninggalkanku disana. Tanpa sadar aku melangkah.. Menuju suatu makam.
Tanpa sadar akupun menangis, menatap nisan yang masih basah, menatap tanah yang masih dipenuhi bunga segar.

----Alfeta Lesmana. Lahir: 12 November 1988. Meninggal: 23 Januari 2008----

*****

SELESAI