Senin, 19 September 2011

CerPen: Dia Membuatku Meratap

Hariku berjalan seperti biasa. Suram. Disini sangat sepi.. Tak ada suara sama sekali. Meskipun orang-orang sibuk berlalu-lalang membawa setumpuk laporan dan sesekali barang-barang mereka berjatuhan, tetap hening! Walaupun didepanku terlihat seorang dosen yang sedang memarahi mahasiswanya yang telat mengumpulkan tugas, walaupun dibelakangku berlari seorang mahasiswi yang diteriaki oleh temannya. Tidak berubah. Tetap lengang!

Suram ! Mulai seminggu yang lalu, tidak akan ada lagi seseorang yang menepukku dari belakang dan memamerkan sederetan gigi rapihnya padaku. Tidak akan ada lagi yang menyuruhku makan pagi dengan teratur, tidak akan ada lagi orang yang membangunkanku ketika aku tertidur di dalam kelas. Tidak akan ada lagi orang yang.. akkh..

*****

Aku membawa referensi buku dari perpustakaan dan berjalan menuju kelasku yang rasanya makin lama makin suram. Aku terus mencoba untuk terus bertahan tanpa ada orang yang memperhatikanku dan membantu membawakan barang-barangku tiap hari dengan senyum lebar yang selalu menghiasi wajahnya. Aku mencoba bertahan.

Tiba-tiba ada yang menepukku pundakku. Aku menoleh,
"Hei.. Perlu bantuan?"

Aku mematung. Membisu. Tercekat. Terus seperti itu seraya menatap wajah orang itu.
"Hei.. Kamu kenapa sih? Kaya ngeliat hantu aja deh.. Mau aku bantuin bawa buku-buku itu ngga nih?" Tanyanya sekali lagi. Aku masih terdiam. "Taya.. Whooii.. Halooo??" Ia menggoyangkan telapak tangannya di depan mataku. Aku akhirnya tersentak.

"Ah.. Boleh.. " Aku mengulurkan sebagian buku yang kubawa dan ia menyambutnya. Kami berjalan bersama menuju kelas.

"Kamu kembali?" Aku membuka suara.
"Ya, aku sadar.."

Aku tersenyum. Seketika dunia terasa lebih cerah, lebih berwarna dari yang kurasakan saat sebelum ia menghilang. Aku seperti tidak pernah mengenal apa itu kata 'suram'.

"Kamu sadar kalau aku orang yang selalu telat sarapan dan kamu harus mengingatkannya? Kamu sadar kalau aku orang yang gampang mengantuk di kelas dan kamu harus membangunkanku? Iya"

"Iya.."

*****

"Lo kenapa keringetan banget gitu, ta?" Tanya Lili, teman sekampusku.
"Abis main basket.. " Jawabku sekenanya.
"Sama siapa?"
"Feta.. Siapa lagi? Biasanya kan emang gw main berdua dia doang.."
"Feta?"
"Iya.. Capek banget, padahal mainnya cuma berdua aja ya.." Aku mengelap keringat yang mengalir di dahiku. Lili menatapku dengan bingung. Aku jadi ikut-ikutan bingung. "Elo kenapa?" Tanyaku.
"Ta.. Elo.. Beneran main basket barusan?"
"Iya, dari dua jam yang lalu gw main basket sama dia kok di lapangan.."
Lili berdiri dari kursinya dan melihat keluar kelas yang langsung berhadapan dengan lapangan basket dan menatapku dengan bingung. Aku hanya tersenyum.

*****

Telepon rumahku tetap diam. Tidak ada suara dering sama sekali. Aku mengangkat gagang telepon dan menekan nomor hp Feta yang sudah sangat kuhafal.

"Halo ta.." Sapanya riang ketika menjawab teleponku.
"Fetaaaaa.. Jalan yuuukkk.. Lagi males di rumah.. Nanti malem jalan ya?" Ajakku.
"Boleh.. Kemana?"

Adikku datang menghampiriku. Sejenak aku menghentikan obrolanku dengan Feta dan menatap adikku dengan galak.

"Nelepon siapa,kak?" Tanyanya
"Bang Feta.." Jawabku sekenanya.
"Hah?"
"Kenapa? Mau nguping kaya biasanya ya? Awas aja ya kamu nguping-nguping obrolan kakak lagi.. Awas kalo berani nguping dari telepon kamar mama!" Ancamku. Dengan langkah gontai dan wajah yang heran, adikku berjalan menjauhiku. Ia sering sekali memakai telepon parallel di kamar orang tuaku untuk menguping pembicaraanku dengan Feta. Pasti kali ini ia akan melakukannya lagi. Dasar nakal.

"Maaf, Fet.. Tadi adikku biasa.. Ya terserah kamu aja lah kita kemana.. Gimana kalau kita ke..." Kami saling mengobrol dan tertawa. Kami mengobrol banyak. Tapi, setelah sepuluh menit, aku mendengar teriakan adikku dari kamar orang tuaku. Ia berteriak-teriak histeris.

"Kak Taya ngomong sendiriiiii.. Mamaaa.. Kak Taya ngomong sendirii di telepon!! Mamaaa.."

Aku kaget dan tanpa sadar aku menutup teleponnya. Dengan marah aku menghampiri adikku.
"Berisik! Kakak lagi ngobrol sama bang Feta.. Kan udah kakak bilang jangan berisik kalo orang lain lagi nelepon!" Tukasku dengan kesal. Ia menangis ketakutan di pelukan ibuku. Ibuku masih tenang, ia mengelus rambutku dengan penuh cinta.

Ia mengajakku menaiki mobil, mengendarainya dan berhenti di sebuah pemakaman umum. Ia meninggalkanku disana. Tanpa sadar aku melangkah.. Menuju suatu makam.
Tanpa sadar akupun menangis, menatap nisan yang masih basah, menatap tanah yang masih dipenuhi bunga segar.

----Alfeta Lesmana. Lahir: 12 November 1988. Meninggal: 23 Januari 2008----

*****

SELESAI

1 komentar:

  1. tumpang lalu.. jemput g blog sy http://ainaluvphytostemcell.blogspot.com/

    BalasHapus