“Sum-sum tulang belakangku cocok untuk kakak kata dokter, bu. Secepatnya kita harus melakukannya. Ini cara paling mungkin yang bisa kita usahakan sekarang..” Ujarku pada ibu yang sedang duduk disebelah tempat tidur kakak yang masih belum membuka matanya. Ibu menggenggam erat tangannya.
“Kamu ngga keberatan?” Tanya ibu menoleh padaku.
“Keberatan? Tentu aja ngga, bu. Ini satu-satunya yang bisa aku berikan buat kakak setelah selama ini hanya kebencian yang bisa aku berikan untuknya..” Jawabku yakin. Ibu masih terdiam. “Tapi soal biaya.. Itu..” Masalah ini aku masih bingung.
“Ngg.. Kalau masalah biaya.. Ini..” Ibu menyodorkan sebuah buku tabungan padaku. Aku membukanya dan melihat namaku disana. Dengan bingung aku menatap ibuku. “Semua gaji kakakmu selama ini ditabung atas nama kamu. Sebenarnya kakakmu tidak mengizinkan ibu mengatakannya padamu. Kakakmu hanya bilang, ia mengumpulkan uang ini semua untuk kamu. Ibu setuju-setuju saja, karena kakakmu berkeras menabungnya untukmu.. Tapi ibu ngga pernah tau kalau kakakmu selama ini.. sakit.. “ Ibu melirik kak Rima sebentar. “Kalau kamu ngga keberatan, uang ini bisa dipakai untuk operasi kakakmu..”
“Tidak!”
Aku menoleh kaget dan melihat kak Rima membuka matanya dan menatap kami. “Itu tabungan pendidikan Nina dan hanya dipergunakan untuk pendidikannya.” Tegasnya dengan suara lemah. Aku menatapnya dengan tak percaya. Kemudian ia menatapku. “Dan kakak ngga setuju kamu mau menyumbangkan sum-sum tulang belakangmu. Apapun.. Yang kakak inginkan cuma kamu sehat dan bisa mendapatkan kehidupan yang layak..”
Aku menghapus air mata yang barusan mengalir keluar dari mataku. “Tapi..
Tapi.. Kakak mem.. membenciku.. “
“Cuma kamu harapan kakak untuk bisa membahagiakan ibu, Nina. Jadi bagaimana mungkin kakak membencimu, kita ini kan bersaudara.”
Aku masih tidak mengerti. Aku menatap buku tabungan di tanganku. “Lalu.. Ini.. Semua hasil kerja keras kakak..”
“Umur kakak udah ngga lama lagi, jadi semua uang kakak usahakan hanya untuk kamu dan ibu. Nina, adik kakak satu-satunya. Gunakan sebaik-baiknya untuk membahagiakan ibu nanti..”
Aku tidak bisa menghapus air mataku lagi karena sudah terlalu deras. Kakak tersenyum padaku. Aku membayangkan hari-harinya dua tahun belakangan. Ia menahan sakitnya sendirian di dalam kamar, berpura-pura menyalakan musik yang keras padahal ia sedang merintih kesakitan, bekerja tiada henti hanya untuk uang pendidikanku, dan menahan diri untuk membantu pelajaranku agar aku tidak melihatnya merintih menahan sakit. Dan apa yang aku berikan untuknya? Kebencian..
Kakak terlihat ingin mengatakan sesuatu lagi, namun aku memotongnya. “Bodoh.. Mana bisa aku membahagiakan ibu tanpa ada kakak disini.. Bodoh..” Ujarku. Aku mengangkat buku tabungan itu, “Jadi.. buku tabungan ini milikku? Baik.. Berarti aku yang menentukan digunakan untuk apa semua uang ini..”
Ibu menoleh padaku dan tersenyum. Aku membiarkan air mataku mengalir dan menatap wajah pucat kakakku dengan penuh sayang.
# # # # #
“Kamu ngga keberatan?” Tanya ibu menoleh padaku.
“Keberatan? Tentu aja ngga, bu. Ini satu-satunya yang bisa aku berikan buat kakak setelah selama ini hanya kebencian yang bisa aku berikan untuknya..” Jawabku yakin. Ibu masih terdiam. “Tapi soal biaya.. Itu..” Masalah ini aku masih bingung.
“Ngg.. Kalau masalah biaya.. Ini..” Ibu menyodorkan sebuah buku tabungan padaku. Aku membukanya dan melihat namaku disana. Dengan bingung aku menatap ibuku. “Semua gaji kakakmu selama ini ditabung atas nama kamu. Sebenarnya kakakmu tidak mengizinkan ibu mengatakannya padamu. Kakakmu hanya bilang, ia mengumpulkan uang ini semua untuk kamu. Ibu setuju-setuju saja, karena kakakmu berkeras menabungnya untukmu.. Tapi ibu ngga pernah tau kalau kakakmu selama ini.. sakit.. “ Ibu melirik kak Rima sebentar. “Kalau kamu ngga keberatan, uang ini bisa dipakai untuk operasi kakakmu..”
“Tidak!”
Aku menoleh kaget dan melihat kak Rima membuka matanya dan menatap kami. “Itu tabungan pendidikan Nina dan hanya dipergunakan untuk pendidikannya.” Tegasnya dengan suara lemah. Aku menatapnya dengan tak percaya. Kemudian ia menatapku. “Dan kakak ngga setuju kamu mau menyumbangkan sum-sum tulang belakangmu. Apapun.. Yang kakak inginkan cuma kamu sehat dan bisa mendapatkan kehidupan yang layak..”
Aku menghapus air mata yang barusan mengalir keluar dari mataku. “Tapi..
Tapi.. Kakak mem.. membenciku.. “
“Cuma kamu harapan kakak untuk bisa membahagiakan ibu, Nina. Jadi bagaimana mungkin kakak membencimu, kita ini kan bersaudara.”
Aku masih tidak mengerti. Aku menatap buku tabungan di tanganku. “Lalu.. Ini.. Semua hasil kerja keras kakak..”
“Umur kakak udah ngga lama lagi, jadi semua uang kakak usahakan hanya untuk kamu dan ibu. Nina, adik kakak satu-satunya. Gunakan sebaik-baiknya untuk membahagiakan ibu nanti..”
Aku tidak bisa menghapus air mataku lagi karena sudah terlalu deras. Kakak tersenyum padaku. Aku membayangkan hari-harinya dua tahun belakangan. Ia menahan sakitnya sendirian di dalam kamar, berpura-pura menyalakan musik yang keras padahal ia sedang merintih kesakitan, bekerja tiada henti hanya untuk uang pendidikanku, dan menahan diri untuk membantu pelajaranku agar aku tidak melihatnya merintih menahan sakit. Dan apa yang aku berikan untuknya? Kebencian..
Kakak terlihat ingin mengatakan sesuatu lagi, namun aku memotongnya. “Bodoh.. Mana bisa aku membahagiakan ibu tanpa ada kakak disini.. Bodoh..” Ujarku. Aku mengangkat buku tabungan itu, “Jadi.. buku tabungan ini milikku? Baik.. Berarti aku yang menentukan digunakan untuk apa semua uang ini..”
Ibu menoleh padaku dan tersenyum. Aku membiarkan air mataku mengalir dan menatap wajah pucat kakakku dengan penuh sayang.
# # # # #