Rabu, 21 Desember 2011

Semi Novel : BAB I -> Kebosanan ini bisa membunuhku..

BAB I

Datar.. Kayanya aku ngejalanin hidup ini tuh sedatar televisi flat plasma deh dan itu juga versi 80an yang masih hitam-putih. Aku lelaki berumur enam belas tahun, dua hari lagi akan merayakan ulang tahun yang ke tujuh belas, tapi selama perjalanan hidupku aku ngga merasakan ada yang istimewa. Semuanya biasa. Bahkan terlampau biasa. Sangat biasa!

Dengan gontai Rayza melangkahkan kaki menuju halte dan menunggu angkot yang biasa dinaikinya untuk sampai ke rumah. Sesekali, ia melirik gerombolan cewek SMA yang cekikikan ngga jelas melihatnya. Padahal, ia sendiri merasa dia bukan tipe cowok yang gampang menarik perhatian cewek, tapi dia juga yakin, dia bukan tipe cowok yang aneh dan masuk dalam daftar cowok freak yang patut ditertawakan dimanapun ia berada.

Seenggaknya ia punya tinggi yang sedang-sedang aja. Nggak 180 cm tapi juga ngga 160 cm.. Di tengah tengah lah.. Dia juga punya tampang yang ngga jelek-jelek banget, walau juga ngga cakep-cakep banget. Setidaknya ia punya salah satu bagian dari wajahnya yang bisa ia banggakan. Apalagi bagian itu termasuk bagian penting yang biasa dicari oleh cewek-cewek. Mata yang besar, berwarna cokelat, tatapan teduh tapi dalam yang bisa bikin orang harus menatapnya minimal lima detik sebelum dapat memalingkan wajah. Mata yang banyak diinginkan orang kan?

Mungkin itu satu-satunya yang ia banggakan. Selebihnya, semuanya ngga ada yang lebih dari rata-rata. Sedang-sedang saja.

Begitu melihat angkotnya datang, ia segera menyetopnya walau mikrolet itu sudah penuh. Bahkan ada satu orang yang bergantung di pintu. Dengan cekatan, ia bergabung dengan orang itu. Ia tidak lagi melirik ke gerombolan cewek yang masih cekikikan seiring kepergiannya.

Besok adalah hari terakhir ujian semesteran. Maka itu, begitu sampai di rumah, ia langsung masuk ke dalam kamar dan beristirahat agar tubuhnya fit untuk menghafal materi pelajaran sejarah yang akan diujikan besok.

Setelah membaca buku selama kurang lebih satu jam, biasanya Rayza bergabung bersama adik-adik dan kedua orang tuanya menonton acara televisi di ruang keluarga. Memang hanya itulah rutinitas yang ia jalankan tiap harinya. Belajar, berkumpul bersama keluarga, dan sesekali jalan bareng teman. Baginya semua itu sudah tercetak di tabel perjalanan hidupnya, jadi ngga bisa dibongkar lagi.

Dia juga tidak seperti cowok-cowok remaja lainnya yang ketika pulang sekolah bisa nongkrong-nongkrong bersama teman-temannya, main musik atau sekedar menggoda cewek-cewek yang bersliweran di depan gerbang sekolah. On time, setiap pulang sekolah ia langsung pulang ke rumah, kecuali keadaan yang benar-benar terdesak.

Ayahnya selalu mengajarkan ia dan saudara-saudaranya untuk disiplin dalam melakukan sesuatu. Ayahnya juga ingin agar Rayza dapat melebihi dirinya kelak atau minimal sama-sama mendapat gelar S1. Walau ayahnya cuma PNS, namun semangat kerjanya tinggi. Ayahnya ingin Rayza sebagai anak tertua memiliki masa depan yang lebih baik dari sekedar PNS yang akan menghabiskan masa tuanya dengan hanya menerima uang pensiunan PNS yang seringnya “lupa” dibayarkan.

Maka itu, Rayza kebanyakan menghabiskan waktu di depan meja belajar, berkutat dengan buku. Walau ia tidak juga bisa disebut kutu buku, karena sebenarnya ia lebih suka mendengarkan musik dibanding membaca buku. Baginya, buku hanyalah kewajibannya sebagai pelajar dan konsekuensi untuk mengabulkan mimpi ayahnya. Tak lebih dari itu.

Jadi, saat itu tiba.. Saat Rayza merasa hidupnya sangat membosankan, terlalu biasa, tidak berwarna, terlalu datar, dan itu-itu saja.

Hampir saja ia melempar tasnya diatas tumpukan buku di atas meja belajar, sepulang sekolah di hari terakhir ujian semesterannya. Juga, satu hari sebelum hari jadinya ketika ia diharuskan memiliki KTP.

Ia menatap berkeliling kamarnya yang cukup rapi. Ahh.. Seandainya aku punya sense of art yang tinggi, aku pasti bisa merubahnya menjadi kamar cowok yang sekeren yang dimiliki pemain utama cowok di sinetron-sinetron di televisi.. Cuma sayang, bukan hanya ia tidak memiliki sense of art yang tinggi, ia juga tidak punya keluarga yang siap menerimanya jika ia berubah menjadi Affandi junior atau bahkan Van Gogh nya Indonesia.

Kebosanan itu tiba-tiba merayap begitu saja di perasaannya. Melakukan hal yang sama tiap hari telah membuatnya kebal terhadap kebosanan, tapi tidak untuk saat ini. Hal selanjutnya yang ia lakukan adalah – dan ini untuk yang pertama dalam hidupnya – tidak menyentuh buku sama sekali setelah pulang sekolah yang membosankan itu.

O O O O O

Banyak orang mengatakan, setiap anak yang sudah berumur tujuh belas tahun bebas memilih jalan kehidupannya sendiri, karena pada masa itu seseorang sudah dianggap dewasa.

Rayza malah tidak yakin dengan pernyataan itu. Apakah ia bisa menentukan apa yang ingin dilakukannya di umurnya yang tujuh belas tanpa perlu persetujuan ayahnya? Tapi masalahnya, ia sendiri tidak tau apa yang diinginkannya dalam hidupnya. Satu yang pasti, ia ngga ingin menjalani hidup yang biasa lagi. Tapi, ia bisa berbuat apa?

Setelah subuh, Rayza keluar dari kamarnya pelan-pelan dan berjingkat menuju pintu keluar agar tidak membangunkan salah satu anggota keluarganya. Begitu menghirup udara segar di fajar hari, ia menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya pelan-pelan. Ia berbisik pada diri sendiri, “Happy birthday, Rayza.. Happy sweet seventeen.. atau.. Bad seventeen?”

Pelan-pelan ia melangkah menjauhi rumahnya dan menelusuri jalanan yang masih sangat lengang. Sesekali yang terdengar hanya suara jangkrik, burung, atau tokek. Ada lagi, suara kasak-kusuk tikus di bawah selokan.

Damai sekali berjalan-jalan di pagi hari. Tidak ada suara riuh kendaraan, suara teriakan kondektur, ataupun suara cempreng ibu-ibu yang sedang bergosip sambil memilih sayuran. Damai!

Kembali ke topik tujuh belas tahun tadi, andai semua anak dapat memilih jalan hidupnya sendiri. Itu yang selalu diimpikan Rayza. Maka, ia menunggu saat ini tiba, saat dimana semua orang yang mengenalnya tau, ia bukan anak kecil lagi.

Tapi ia agak kecewa. Rasanya sama saja. Antara Rayza yang berumur tujuh belas tahun dengan Rayza di umur-umur sebelumnya. Apa yang membedakannya? Ia tetaplah menjadi seorang anak, tumpuan harapan dari mimpi seorang ayah dan tumpuan harapan seluruh keluarganya.

Rayza melihat seorang lelaki berumur kira-kira 20 sampai 25 tahun. Ia sendiri tidak pandai menebak umur seseorang. Lelaki itu terlihat gembira, cerah, puas, senang. Yang jelas, raut kebahagiaan yang terpatri di wajahnya, dapat terbaca jelas oleh Rayza. Setidaknya berbanding terbalik dengan yang dirasakannya saat ini.

Ah.. Andai aku dapat memilih hidupku sendiri. Bisakah aku menjadi lelaki itu? Hidupnya pastilah sangat penuh warna hingga ia bisa menikmati panorama fajar sambil memancarkan kebahagiaan di wajahnya. Kapan aku bisa merasakannya?

Rayza terus bergumam seraya memperhatikan lelaki itu lebih seksama. Baru saja hendak berbalik, tiba-tiba ia merasakan tanah tempatnya berpijak itu bergetar. Lampu-lampu jalanan seperti konslet dan berkedip-kedip. Getarannya makin kuat. Tiba-tiba ada pancaran cahaya sangat terang yang menyilaukan. Rayza berusaha menutupi kedua matanya dan juga menahan tubuhnya agar tak goyah. Lalu tiba-tiba saja sesuatu yang menyengat menghantam dirinya.

Hal selanjutnya yang terjadi adalah.. Ia menoleh dan melihat seorang remaja laki-laki sedang berdiri tak jauh darinya. Asyik menatapnya.

O O O O O

(Bersambung ke BAB II)

0 komentar:

Posting Komentar