Senin, 05 Desember 2011

Cerbung: Kakakku, Kesendirianku.. (1)

Aku benci kakakku. Bayangkan saja, ia bekerja dari pagi sampai malam dan hanya pulang untuk tidur saja. Tidak pernah membantu pekerjaan rumah sedikitpun. Bahkan di hari minggu ia pun bekerja. Tidak hanya itu, setiap ia pulang ke rumah pada malam hari, selalu saja menyuruhku membuatkan ini dan itu, terkadang malah menyuruhku membelikan sesuatu di warung padahal saat itu sudah hampir tengah malam dan aku harus mencari-cari warung yang masih buka.

Sebenarnya bukan hal-hal kecil itu yang membuatku membenci kak Rima. Itu semua hal yang sepele. Aku merasa tidak punya kakak, karena kak Rima tidak pernah ada bersamaku. Yang ada di pikirannya hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Ketika di rumah ia tidak repot-repot berusaha mengobrol dengan adik semata wayangnya ini.

Bukan dia saja yang capek, aku juga capek. Sekolah dari pagi sampai sore setelah itu membantu pekerjaan rumah dan menyelesaikan semuanya sendirian. Ibuku juga bekerja, jadi biasanya ia meminta tolong kepadaku. Aku sih tidak keberatan pada ibuku. Ibuku sudah tua, namun masih sanggup berusaha mencari nafkah untuk keluarga kami yang sudah ditinggalkan ayah sejak tiga tahun lalu.

Seperti kataku tadi, bukan hanya dia saja yang lelah, setidaknya ia harus bisa memahami perasaanku. Kami hanya tinggal bertiga, tapi kakak seperti sengaja menghindari kami selama dua tahun belakangan. Aku sendirian, padahal aku sangat membutuhkannya.

# # # # #

Aku membukakan pintu. Kak Rima masuk. Aku melirik jam dinding dan melihat waktu menunjukka pukul setengah delapan. Tumben sekali kakak sudah sampai rumah jam segini.

Seperti biasa, ia langsung masuk ke dalam kamarnya. Setelah beberapa saat, aku meraih tugas fisikaku dan bergegas menghampiri kamarnya dan masuk. Aku melihatnya sedang tiduran di kasur.

“Kak, aku ada PR fisika, tentang cahaya. Ini aku ngga nger—“
“Kakak capek, kamu keluar aja..”

Aku menatap kakakku yang langsung membalikkan badan ke samping, membelakangiku.

“Kamu keluar cepat! Tutup pintunya!” Serunya mengagetkanku. Tanpa sadar air mataku mengalir. Beberapa detik aku hanya menatap punggungnya dengan sakit hati.

“Aku kaya ngga punya kakak!” Tukasku sebelum berjalan keluar dan membanting pintu kamarnya. Begitu keluar dari kamarnya aku menghampiri meja belajarku dan membanting buku pelajaranku. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku dengan lembut. Ibuku.

“Bertengkar dengan kakakmu?” Tanya ibu. Aku hanya terdiam. “Pahami aja, kakakmu mungkin lelah sekali bekerja, jadi dia ngga bisa bantuin kamu..”

“Wah, aku juga capek bu denger tiap hari kakak capek bekerja. Setiap hari, bu! Setiap hari! Aku berasa ngga punya kakak, kak Rima selalu cari cara buat ngehindarin aku. Pasti kakak sangat membenciku karena aku yang menyebabkan ayah meninggal..”

“Hush.. Pikiran macam apa itu!! Bukan kamu yang menyebabkan ayahmu pergi, tapi Tuhan yang lebih sayang pada ayahmu..”

“Semua orang juga tau kalau aku yang boncengin ayah naik motor saat itu dan aku yang menyebabkan kecelakaan hingga ayah.. ayah pergi..”

“Bukan kamu yang menginginkan kecelakaan itu..”

“Pasti kakak sangat membenciku..” Tegasku dengan yakin. “Ayah sangat menyayangi kakak. Melebihi segalanya. Kakak itu kebanggan ayah, begitu juga sebaliknya..”

“Ayah juga menyayangimu, kamu juga kebanggaannya, Nina..” Potong ibu. Aku menghela nafas. Bergumam dalam hati. Ayah itu segalanya bagi kak Rima. Ibu juga tau itu. Pantas aku dibencinya. Adik yang membunuh ayah yang dicintainya. Air mataku kembali menetas. Kenapa aku tidak ikut pergi saja bersama ayah?

# # # # #

0 komentar:

Posting Komentar